Syubhat Wajib Mengangkat Amir Safar
AL-BAI’AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID’AH ‘INDA AL-JAMA’AH AL-ISLAMIYAH
[BAI’AT ANTARA SUNNAH DAN BI’DAH 2/9]
Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
PENGANTAR [2/3]
Saya berkata, “Di bawah ini adalah manhaj yang ilmiah dan benar yang wajib untuk diikuti, dan menapakinya agar terwujud kesatuan wawasan di antara kaum muslimin. Bukan manhaj tambal sulam, karena yang demikian itu tidak terdapat dalam agama Allah sedikitpun!”.
Barangkali kritik dan koreksi ini akan dibantah/ditentang oleh para penulis Islam, lebih-lebih yang lainnya. Bahkan dianggap sebagai pengrusakan dan penghancuran. Kemudian mengatakan : “Adapun orang-orang yang ambisi pada diri-diri mereka sendiri untuk memperbaiki langkah disela-sela pengrusakan terhadap (akidah, -ed) jama’ah, yaitu memulai dari titik nol, maka kami katakan kepada mereka : “Sungguh kalian telah ketinggalan kereta, karena titik permulaan telah ada sejak lima puluh tahun sebelum ditulisnya tulisan ini. Memperbaiki langkah adalah dari dalam, dengan maksud membangun bukan menghancurkan!”[1]
Benarkan perbaikan itu tidak akan bisa kecuali dari dalam ?
Apakah ucapan ini dari dalil-dalil petunjuk ? Atau hanya sekedar hasil eksperimen seseorang saja ?
Yang lain berkata dengan menjelaskan penyebab timbulnya orang yang berguguran di jalan dakwah menurut persangkaannya. Dia mengatakan :”Sebab keempat : Tekanan gerakan-gerakan bawah tanah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan gugurnya kebanyakan orang di jalan Islam dan dakwah ialah berkaitan dengan gerakan-gerakan bawah tanah yang disaksikan oleh perjalanan Islam. Gerakan ini pekerjaannya tidak lain hanyalah memberi keraguan dan kritik. Seakan-akan dia diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk menghancurkan gerakan-gerakan Islam dengan menggunakan nama Islam. Maka di setiap penjuru, dari masa ke masa akan muncul kelompok-kelompok yang berbeda dengan nama Islam merusak kemampuan intelektual para pemuda, meniadakan peran serta mereka dan meracuni udara-udara mereka…. Betapa banyaknya fenomena ini merusak akal yang sebelumnya sehat dan memadamkan cahaya yang sebelumnya menyala serta menghilangkan kekuatan yang sebelumnya bisa menghasilkan (produktif).[2]
Kemudian apa sebab utama bagi pandangan yang gelap seperti ini terhadap masalah kritik, perbaikan dan membongkar kesalahan-kesalahan ?
Menurut keyakinan sebab utamanya ialah karena gerakan Islam terpengaruh -sampai batas tertentu- dengan suasana kehidupan partai yang ada di negara-negara Arab pada masa sekarang ini. Sehingga karakter gerakan Islam dan metodenya -hampir sama sebagian waktu [3] – terkotori dengan ruh hizbiyyah yang sempit, yang tidak sesuai dengan keadaan dan suasana keterbukaan dan kemanusiaan dalam Islam.[4]
Bahkan termasuk malapetaka bagi gerakan Islam, serta kemunduran dan kekacauan cara kerjanya ialah adanya pemikiran hizbi. Sehingga jika suatu tanzhim (kelompok/organisasi) ingin merekrut anggotanya akan menggunakan dalih ketaatan, tidak boleh membantah dan harus mengikuti perintah-perintah. Menurut mereka inilah yang dinamakan dengan loyal. Demikian pula sebaliknya.
Dari hasil metode pengajaran semacam ini ialah munculnya suatu generasi atau sekelompok besar dari para pemuda yang hanya menunggu perintah saja, sehingga terhalang dari pembaharuan dan kedinamisan. Padahal pembaharuan merupakan rahasia yang akan mengangkat dakwah. Sebaliknya akan rugi sebagian kelompok yang unsur terpenting dari dominannya adalah mengadakan pembaharuan.[5]
Perkataan kami tentang ketaatan (di dalam harakah -ed) bukanlah suatu perkataan yang baru, bahkan merupakan realita yang bisa disaksikan. Ditulis serta dibukukan. Sehingga kita bisa temukan pada tulisan mereka bahwa aturan dakwah pada tahap pembentukan adalah sufi murni dan segi ruh dan militer murni dari segi pergerakan. Dan syiar bagi kedua segi ini adalah perintah dan taat, tidak boleh membantah dan ragu, serta tidak boleh beralasan. Bahkan ide yang pertama kali muncul pada tahap persiapan ini ialah ketaatan yang sempurna. Tidak menjamin keberhasilan pada tahap ini kecuali sempurnanya ketaatan. Atas dasar inilah barisan yang pertama mengambil bai’at dari …..” [6]
Padahal taat yang wajib dan terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits adalah ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin) atau yang mewakilinya. Bukan ketaatan kepada segolongan manusia ata salah satu kelompok dari jama’ah-jama’ah yang ada. Walaupun demikian, tidak mungkin untuk disyaratkan dengan kata-kata “Tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan” lebih-lebih dengan “taat yang sempurna”[7] yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan agama ini ialah bahwa taat itu hendaknya pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standardnya-pun tepat. Dan ini bukan termasuk bid’ah serta perkara yang diada-adakan, bahkan merupakan jejak langkah generasi terbaik (salafus ash-shalih). Abu Bakar ash-Shiddiq, -salah satu khalifah yang lurus, dan orang yang bersama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di gua, serta Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti sunnahnya – beliau berkata di awal pidatonya dari atas mimbar pertanggungjawaban : “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya maka tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat kepadaku” [8]
Ini adalah merupakan pelajaran bagi orang yang bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat kepadanya kecuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh dengan manhaj (Ahlus Sunnah wal-Jama’ah). Merupakan pelajaran pula bagi orang awam agar semua inderanya selalu waspada dan hendaknya diapun memiliki ilmu yang sempurna tentang manhaj, serta tidak ada kewajiban baginya untuk taat kecuali pada hal-hal yang ma’ruf.[9]
Kalau begitu, permasalahannya sekarang bukan karena berprasangka, menuduh, atau mengada-ada, tetapi merupakan hakekat yang nyata dan bisa dirasakan, yaitu pada saat dua orang yang berbeda kelompoknya saling berjumpa kemudian saling mengemukakan pandangan-pandangannya pasti akan timbul perselisihan. Sebab ruh hizbiyyah dan ta’ashub bisa memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu. Sehingga dia tidak melihat keadaan sekitarnya kecuali dengan warnanya. Pada gilirannya dia tidak melihat adanya kemungkinan salah padanya, diserta perasaan benar terhadap yang dia bawa. Bahkan merasa bahwa kebenaran mutlak ada padanya dan kesalahan mutlak ada pada orang lain [10]
Sebetulnya, pertemuan semacam ini mustahil dapat terjadi, karena seorang hizbi pasti bersikukuh memegangi pendapatnya (walaupun terbatas), serta bersikeras untuk mengamalkan pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang bersifat intern selalu melakukan pengkhususan dan pendalaman terhadap pendapat-pendapat tersebut, membelanya dan berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang menyelisihinya. Karena akal pikiran seorang hizbi dibentuk untuk mempunyai satu pandangan saja, bukan karakter akal yang berkesinambungan. Demikian pula, bagi seorang hizbi, cenderung berkumpul bersama teman-teman almamaternya, artinya teman-teman satu sekolahan untuk melakukan pembentukan pribadi (bukan dengan ilmu, -ed). Sehingga ketika dia berkumpul dengan orang-orang di luar kelompoknya, maka diapun akan terisolir dari mereka dan diapun menjaga jarak dengan mereka dengan menahan diri sebelumnya. Ketika sudah dimulai pembahasan, ia merasa menderita dan tertekan. Jika berkembang pada perdebatan dia pun akan menghindar. Karena itulah suasana pertemuan penuh dengan basa-basi, dan hanya sekedar menghabiskan waktu. Atau penuh pergulatan dan tarik menarik, sehingga ada kalanya seorang hizbi tersebut tetap sebagai unsur pelaksana murni yang tidak mau berfikir banyak atau jatuh pada tarikan yang terus menerus (kalah dalam berdebat), lalu kembali (ruju’). Atau berhenti aktif dan meninggalkan kelompoknya secara praktik (artinya secara kenyataan tidak dengan pengumuman resmi) atau terus berkembang secara lambat laun sehingga melewati tangga hizbiyyah, baik dalam keadaan tetap memegangi pemikiran hizbiyyah atau meninggalkan hizb tersebut menuju tempat yang jauh dan suasana baru, khususnya berkaitan dengan orang-orang yang mempelajari masalah kemanusiaan. Dan dalam medan berfikir ini, yang berkumpul kebanyakan berasal dari kalangan penulis yang sebelumnya mempunyai latar belakang hizbiyyah, lalu melewati tangga hizbiyyah tersebut [11] . Ini bukan berarti kekalahan, “gugur” atau tenggelam atau istilah-istilah lain yang diberikan kepada orang yang keluar dari hizb tertentu, karena istilah tersebut menyelisihi pemikiran yang bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu, maka apabila seorang muslim mendapati jalan yang salah, lalu dia bermaksud (setelah memberikan keterangan dan ditolak ucapannya) untuk meninggalkan kesalahan tersebut, maka ini adalah haknya. Akan tetapi tidak dikatakan keluar dari bai’at, tidak pula terlepas dari agama atau kembali pada masa jahiliyyah dan seterusnya dari ungkapan-ungkapan semisalnya.[12]
[Disalin dari kitab Al-Bai’ah baina as-Sunnah wa al-bid’ah ‘inda al-Jama’ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai’at antara Sunnah dan Bid’ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
________
Footnote.
[1] Al-Madkhal ila Da’wah al-Ikhwan al-Muslimin, hal.30, Sa’id Hawa
[2] Al-Mustaqitun ‘ala Thariq al-Da’wah, hal.124-128, Fathi Yakan
[3] Bahkan pada umumnya
[4] Musykilat ad-Da’wah wa ad-Da’iyah, hal.132, Fathi Yakan
[5] Fi an-Naqdi al-Dzati, hal.228, Khalis Jalbi
[6] Majmu’ah Rasa’il al-Syaikh Hasan al-Banna, hal.274
[7] Dan Ahmad Abdul Mun’im al-Badri di dalam bukunya At-Tanzhim al-Haraki fi al-Islam, berdalil atas semua itu dengan ucapan yang dinisbatkan kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Dan banyak para da’i jama’ah-jama’ah yang menukil perkataan tersebut di dalam khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah mereka, yaitu : “Tidak ada Islam dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan adanya keamiran dan tidak ada keamiran kecuali dengan taat” Dia (Ahmad Abdul Mun’im) menyebutkan pada halaman 3 awal dari kalimat ini, yaitu : “Marsu’ah al-Hadharah al-Islamiyyah” Padahal atsar tersebut diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (I/79), dan tidak shahih dari Umar. Karena di dalam sanadnya ada Shafwan bin Rustum. Imam Dzahabi berkata di dalam al-Mizan (II/316) :”(Shofwan) tidak dikenal (majhul). ” Dan al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam al-Lisan (III/191) menukil dari al-Azdi : “Bahwa dia (Shofwan) munkarul hadits”. Aku berkata : “Seandainya atsar itu shahih, maka dibawa (sebagai dalil) -dengan mengumpulkan semua nash-nash- atas keamiran kaum mukminin. Sayang atsar tersebut tidak shahih.
[8] Lihat Kanzul ‘umul (5/601)
[9] Nadzarat fi Masirah …hal.22-23, Umar Ubaid Hasanah
[10] Fi an-naqd al-Dzati, hal.35 Khalish Jalbi
[11] Fi an-Naqd al-Dzati, hal.247-248, Khalish Jalbi
[12] Fiqh al-Dakwah al-Islamiyyah wa Musykillah ad-Du’at, hal.34, Muhammad Ghazali